Lilypie Maternity tickers

Monday, December 7, 2009

"Worldview"

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi


Adalah Samuel P.Huntington yang menamai konflik global sekarang ini dengan clash of civilization melalui bukunya berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik ummat manusia saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural. Sebab semua orang kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika kultur atau peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah worldview. Jadi clash of civilization berindikasi clash of worldview.


Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang. Namun Huntington bukan tanpa pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik politik sekarang ini adalah collision of consciousness (benturan kesadaran atau persepsi), kata lain dari clash of civilization. Tapi pilihan kata, clash dan collision memang vulgar, masih kalah lembut dari kata-kata al-Attas divergence of worldviews. Tapi benarkah kini sedang terjadi clash of civilization?


Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman lebih dulu memiliki istilah weltanschauung: welt = dunia, anschauung = persepsi, berarti persepsi tentang dunia; di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang dunia”, di Perancis kata weltanschauung dipinjam dan diartikan dengan “pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut mirovozzrenie berarti pandangan dunia. Dan semua setuju bahwa kata worldview harus diikat oleh predikat kultural, religius, ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai cara pandang yang ekslusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling meminjam antar peradaban, antar worldview. Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah menerima denominasi berdasarkan worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan menerimanya sebagai Indischen weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan worldview sebagai alat untuk mengekplorasi kepercayaan manusia (crosscultural explorations of human beliefs).


Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan berlayar kelautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun begitu di Barat ia tetap hanya sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus sensibilis).Tapi bagi Shaykh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia bermula, maka worldview adalah mabda’ (tempat bermula). Disitu dapat diketahui spektrum makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti yang digambarkan al-Attas tidak sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud, ru’yat al-Islam lil wujud.


Tapi memakai worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau lainnya sah sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran orang. Oleh sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual). Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya sebagai asas formulasi epistemologis yang obyektif. Worldview lalu berfungsi sebagai asas ilmu-imu sosial (Dilthey), dan ilmu-ilmu alam (Kant). Thomas S Kuhn (1922-1996) bahkan menyulap worldview menjadi paradigma yang menyediakan nilai, standar dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik. Ia bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki elemen yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of European Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual. Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran yang positif. Ringkas kata, paradigm dan worldview memiliki variable-variable konsep yang terstruktur, yang berproses menjadi framework pemikiran, dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi sarat nilai, alias tidak netral.


Dalam Islam, sejauh apapun fikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi obornya. Al-Qur’an sendiri sarat dengan sistim konsep (conceptual scheme). Ilmu-ilmu seperti fiqih, hadith, tafsir, falak, tabi’ah, hisab, dsb, adalah derivasi dari konsep-konsep dalam wahyu. Artinya worldview Al-Quran telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang juga ekslusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa mengadopsi metode ta’dil dan tajrih ilmu hadith, atau mengadopsi ilmu fara’id dalam Islam, dst. Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran dikhotomis: obyektif dan subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-seksualisme Freud, doktrin evolusi Darwin dsb. Setiap teori atau konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview.

Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada dataran epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada dataran ini memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial, lebi-lebih senjata. Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam dihitung baik pedang syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini terjadi kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). Namun disini istilah clash of worldview lebih tepat disebut worldview intrusion.


Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran ummat Islam kini sedang dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau “ulama” memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S Kuhn, Derrida dkk., tapi mengkritik al-Ash’ari, al-Ghazzali, al-Shafi’i dll. Ada pula yang ragu apakah al-Qur’an benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga seorang Marxist. Ia memahami makna Tawhid, tapi tidak tahu berfikir tawhidi. Imannya tidak didukung oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah imannya. Muslim tapi worldview dan framework berfikirnya tidak. Itulah dampak worldview intrusion.


Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida (1930-..). Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism telah dirobohkan (deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-worldview era. Tidak ada lagi worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran tentang alam, apalagi framework. Semua bebas memahami semua. Jadi tidak ada clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung worldview dan framework dia sendiri?


Humorpun bagi Witgenstein masih termasuk worldview, meski ia hanya ilusi manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri konflik kebaikan dan kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara kerajaan Tuhan dengan kerajaan Setan. Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview bukanlah skenario peperangan, karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita tidak hanya perlu ditunjukkan tentang hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju kebenaran. "Allahumma arina al haqqan warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila-bathilan warzuqnaj tinabah.” [www.hidayatullah.com]


Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)

Friday, December 4, 2009

SEMINAR SEHARI PENGUKUHAN PANDANG ALAM ISLAM

Dalam menghadapi kegentingan masalah masyarakat Islam dalam pelbagai bidang dewasa ini, satu usaha yang terencana dan teliti bagi merungkai masalah tersebut amat diperlukan. Oleh sebab itu, segala penyelesaian yang ingin dilakukan haruslah bermula dengan usaha memperbetulkan cara berfikir masyarakat Islam terutama yang berhubung dengan unsur-unsur penting yang membentuk alam pemikiran mereka.

Bertitik tolak dari kesedaran tentang pentingnya usaha tersebut satu seminar sehari pengukuhan Pandangan Alam Islam akan dianjurkan oleh Himpunan Keilmuan Muda (HAKIM) dengan kerjasama Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia (PKPIM) dan Institut Integriti Malaysia.

Yuran

Seminar DAN Syarahan Perdana:
Umum : RM100 seorang
Pelajar : RM35 seorang

Syarahan Perdana SAHAJA:
Umum : RM50 seorang
Pelajar : RM20 seorang

Aturcara Program (tentatif):
9.00 – 10.30 pagi:
- Perasmian oleh Tetamu Kehormat
- Ucap Utama oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, UKM
Tajuk: Pengukuhan Pandangan Alam Islam Di Kalangan Masyarakat Islam Kini: Cabaran dan Harapan

11.00 – 1.00 ptg: Sidang Pertama
- Pembentang:
1. Dr. Mohd Zaidi Ismail, IKIM
Tajuk: Faham Ilmu Dalam Islam: Satu Pengenalan Ringkas
2. Dr. Mohd Farid Mohd Shahran, UIAM
Tajuk: Makna dan Matlamat Agama dalam Islam

2.00 – 3.30 ptg: Sidang Kedua
- Pembentang:
1. Dr. Mohd Sani Badron, IKIM
Tajuk: Adab dan Ta’dib sebagai Asas Pendidikan Islam
2. Dr. Adi Setia Mohd Dom, UIAM
Tajuk: Islam dan Falsafah Sains

3.45 - 5.30 ptg: Sidang Tiga
- Pembentang:
1. Dr. Khalif Muammar, UKM
Tajuk: Pandangan Islam terhadap Tradisi dan Kemodenan
2. Dr. Wan Azhar Wan Ahmad, IKIM
Tajuk: Islam dan Cabaran Sekularisasi dan Pembaratan

5.30 - 8.30: Rehat

9.00 – 11.00 mlm:
- Syarahan Perdana
Oleh: Professor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas
"Reviving The Worldview of Islam: Internal and External Challenges"

Untuk urusan pertanyaan dan pendaftaran, sila berhubung terus dengan:
Abdul Muntaqim (019-8285019) atau,
hantarkan e-mail ke alamat:
seminar.hakim@gmail.com

Terima kasih.

Wednesday, December 2, 2009

ALHAMDULILLAH

Bismillahirrahmanirrahiim.
ShadaqALlah al-'Adhiim.

Mahu

Mahu beritahu ini pada kamu;
Kamu yang terbaik.

Mahu buat ini untuk kamu;
Berada di sisi dan tak pernah pergi.

Mahu lihat ini di wajah kamu;
Ketenangan dan senyuman indah.

Mahu ada ini dekat kamu;
Kesejahteraan, keselamatan sampai bila-bila, di mana-mana.

Mahu ucap ini pada kamu;
Aku tak pernah putus ingat kamu.

Tuesday, December 1, 2009

Cerita Diana*

Bismillahirramanirahiim.

Alhamdulillah, masih punya baki tenaga, masa, buah fikiran untuk dikongsi bersama. Moga memberi manfaat kepada semua termasuk diri.

Entri kali ini bukan seperti entri-entri sebelumnya yang bersifat serius dan formal. Kali ini hanyalah sekadar perkongsian pengalaman dua insan; aku dan Diana.

Diana seorang gadis awal remaja, 11 tahun yang akan menamatkan pengajian sekolah rendah yang penuh dengan saat-saat ceria, gembira, sedih, menangis dan ketawa. Seorang adik dan kakak dalam keluarga. Diana seorang yang ramah, selalu ingin menjadi ketua dan mendapat perhatian selayaknya dari teman-teman dan masyarakat sekeliling.

Seperti gadis lain Diana punya cita-cita mahu cemerlang dalam pelajaran namun dia juga faham akan kondisi keluarga yang memerlukan dia berkorban masa luangnya juga masa belajar untuk menjaga adik-adiknya tika ibu perlu menyediakan kuih untuk jualan, tika abang perlu ke kelas tuisyen dan tika adik-adik merengek mahukan makan, susu, mahu dibersihkan dan diberi perhatian.

Keluarga Diana bukan dari kalangan yang hidup punya serba-serbi. Walaupun menetap di bandar keluarga Diana masih tidak mampu untuk mengadakan sesuatu yang dianggap kebiasaan bagi masyarakat bandar. Mereka hidup sekadarnya tidak mewah apa lagi untuk hidup dalam kelewahan.

Diana seorang yang gemar membaca dan menulis. Di sekolah, tika tiba waktu Pelajaran Komputer, Diana merupakan yang pertama antara rakan sekelasnya yang tiba awal di Makmal Komputer. Dia akan menggunakan sepenuh masa yang diberi untuk mengakses laman-laman sesawang yang dirasakan berguna.

Apabila ada masa terluang, Diana akan membelek dan membaca apa sahaja buku-buku yang dijumpainya di rumah termasuk buku cerita kanak-kanak, buku teks sekolah dan majalah-majalah.

Aku amat kagum dengan sifat Diana yang tak malu untuk belajar.

Allah Maha Pengasih ketemukan kami dalam satu program yang aku dan teman-teman anjurkan. Diana merupakan anak kepada Kak Latifah*, seorang senior yang juga antara urusetia yang mengendalikan program. Kak Latifah membawa kesemua anak-anaknya memandangkan ketika itu cuti sekolah penggal akhir telah pun bermula. Bukan sahaja Diana, aku juga berkesempatan mengenali seisi keluarganya termasuk suami Kak Latifah sendiri.

Aku begitu mudah mesra dengan Diana bukan kerana sifatku yang sememangnya meminati kanak-kanak tetapi kerana sikap Diana sendiri yang gemar bertanya dan berkongsi.

Ketika aku dan teman mengendali slot LDK (Latihan Dinamika Kumpulan), aku diminta Kak Latifah untuk membawa Diana bersama. Tujuannya adalah untuk Diana belajar sebanyak mungkin dari aku dan teman-teman termasuk mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi peserta program Latihan Kefasilitatoran.

Setiap perkataan atau istilah yang digunakan yang kurang difahami dan dirasakan sukar atau baru, Diana tidak takut untuk bertanya dan belajar. Setiap persoalan yang berlegar di dalam benaknya akan terus diajukan padaku tanpa segan silu.

Semasa program, aku membawa komputer ribaku bersama kerana ada kerja yang perlu aku selesaikan sebelum program tamat. Aku dapat lihat sinar pada mata Diana ketika dia melihat komputer riba itu. Cepat-cepat dia duduk rapat di sisiku.

"Komputer akak eh?"

"Iye, kenapa Diana?"

"Takdelah" Diana menjawab sambil tersenyum simpul. Tangannya menyentuh skrin komputer kemudian ke papan kekunci.

"Dapat internet ke kak?"

"Dapat", jawab aku sambil memulangkan senyuman.

"Diana ada emel?" soalku sengaja memancing umpan.

"Tak ada, tapi kawan ada", "Akak ada emel? Akak buat apa tu? Kenapa akak baca tu semua? Kerja ke?"

Banyak sungguh soalannya. Bertubi-tubi. Tak tahu yang mana satu harus aku jawab dulu.

"Akak kena baca ni sebab nanti bila program takde la akak ternganga bila ada perbincangan tentang ni nanti."

Diana memandang skrin lama. Aku cuba menyelami kemahuannya.

"Diana nak cuba?"

Terukir senyuman lebar di bibir. "Nak kak!" sahutnya gembira.

"O.K. tapi boleh guna Microsoft Word je tau. Jangan sentuh atau buka yang lain. Tau?" Pesan aku bersungguh-sungguh.

Aku mahu beri pengalaman itu pada dia. Aku mahu Diana bermotivasi untuk lebih cemerlang. Diana tahu bahawa pelajar universiti seperti aku punya peluang untuk menggunakan komputer peribadi. Aku mahu dia punya keinginan untuk melangkah jauh. Bukan sekadar angan-angan kosong.

"O.K. O.K." Diana mengangguk laju.

Aku pindahkan komputer ribaku ke atas ribanya. Tak lama selepas beberapa minit aku tinggalkan dia bersendirian kerana aku harus kembali ke dalam kumpulan.

Selang beberapa minit Diana datang perlahan merapati, "Akak, Ummi suruh berhenti. Ummi kata nanti akak nak pergi lain. Ummi suruh akak simpan." Aku mengangguk tanda faham.

Sebelum aku menyimpan komputer ribaku, aku menyimpan titipan cerita yang Diana taipkan dalam komputer itu. Aku simpan dokumen itu dengan nama "Cerita Diana".

Bila aku buka kembali, rupanya cerita itu masih berbaki, masih belum punya klimaks mahupun penutup.

Pada suatu hari seorang pengemis itu berfikir bagai mana ingai mencari makanan untuk anak dan isteri. Pengemis mendapat idea untuk mencuri sayur-sayuran di rumah orang kaya itu. Pengemis mencuri


Aku amat berharap coretan Diana yang kecil ini dapat dibesarkan Aku harap dapat ketemu lagi dengan Diana, adikku yang bijak!

Aku bersama Diana

"Oh Allah, temukan kami kembali dalam Rahmah dan InayahMu. Amiin."

*bukan nama sebenar
Wallahu'alam.

Mata

Jika ditanyakan siapa kita? Ramai yang tahu bahawa kita adalah hamba Allah. Namun berapa ramai antara kita yang sedar bahawa kita hamba Allah? Ya, ramai manusia hanya tahu tetapi tidak sedar bahawa dirinya hamba Allah.

Justeru, ramai yang berlagak seolah-olah ‘tuan’ (malah Tuhan) dalam kehidupan sehari-hari. Sikap angkuh, tamak, pemarah dan bangga diri yang sepatutnya tidak ada pada diri seorang hamba, menjadi tabiat dan budaya dalam kehidupan. Ya, tahu dan sedar adalah dua perkara yang sangat berbeza.

Tahu letaknya di akal – dengan memiliki ilmu dan maklumat. Manakala kesedaran letaknya di hati – dengan memiliki penghayatan dan hikmah. Ini menjelaskan mengapa ada pelajar yang lulus A1 dalam mata pelajaran agama Islam tetapi tidak solat. Dia mungkin tahu tentang kebaikan solat tetapi tidak sedar akan kebaikan itu. Tahu, hanya ‘di permukaan’, yakni baru bersifat pengetahuan dan teori. Manakala sedar adalah mendalam, melibatkan kemahuan dan amali.

Kata Hikmah dari Sayidina Ali

Untuk mengetahui apakah hakikat sebenar kesedaran, marilah kita dengar apa yang pernah dikatakan oleh Sayidina Ali k.w. yang antara lain bermaksud: “Manusia ketika hidup di dunia semuanya tidur (mimpi), bila mati baru mereka terjaga (tersedar).” Kata-kata itu sungguh mendalam dan tersirat maknanya. Rupa-rupanya hanya apabila seseorang itu mati kelak barulah hakikat kehidupan ini tersingkap dengan sejelas-jelasnya. Ketika itu barulah si mati dapat “melihat” hidup dengan jelas dan tepat.

Setelah diri berada di alam barzakh (alam kubur), barulah manusia insaf apakah yang sebenarnya yang perlu dicari dan dimiliki dalam hidupnya ketika di dunia dahulu. Aneh, hanya apabila meninggal dunia, baru manusia menyedari tentang hakikat hidup di dunia. Seperti kata pepatah, “Setelah terantuk (mati), barulah dia tengadah (sedar).” Rupa-rupanya apa yang diburu semasa hidup di dunia hanyalah dosa. Manakala apa yang dihindarinya pula adalah pahala.

Ah, betapa tersasarnya tujuan hidup selama di dunia akibat buta mata hati. Dalam alam kubur, ketika debu-debu tanah menjadi ‘bumi dan langit’, barulah kita terjaga daripada “mimpi” selama ini. Sayangnya, pada ketika itu, segala-galanya sudah terlambat. Apa gunanya sedar di alam kubur kerana saat itu kita tidak boleh berbuat apa-apa lagi untuk memperbaiki keadaan. Sepatutnya kesedaran semacam itu perlu kita miliki sewaktu hidup di dunia ini. Jelaslah, sekiranya hidup di dunia dilalui dengan penuh kesedaran, barulah ada kebaikan dan manfaatnya. Sebaliknya, sekiranya kesedaran itu hanya dimiliki di alam kubur, maka segala-galanya sudah terlambat! Sedar vs Tahu

Kesedaran itu terletak di mana? Apabila Sayidina Ali menggunakan istilah ‘tidur’ dan ‘terjaga’, apakah beliau merujuk kepada mata? Selalunya, ketika hidup mata seseorang terbuka (terjaga) dan apabila mati matanya tertutup. Tetapi anehnya, Sayidina Ali menyatakan sebaliknya – bila hidup, yakni ketika mata terbuka itu yang dikatakan bermimpi manakala apabila mati (mata tertutup) dikatakan terjaga.

Apa yang dimaksudkan oleh Sayidina Ali dengan ‘terjaga’ (tersedar) tidaklah merujuk kepada mata di kepala, sebaliknya merujuk kepada mata di hati (di dalam dada). Ramai manusia yang hidup dengan mata hati yang tertutup. Bila mati baru mata hati itu terbuka. Mata hati inilah yang disebut dalam al-Quran sebagai yang ‘berada di dalam dada’. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: “Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu dengan hati yang mereka miliki dapat memahaminya atau dengan telinga yang mereka miliki dapat mendengar semuanya?

Sesungguhnya (mereka yang tidak memahaminya) bukanlah kerana mata yang buta, tetapi yang buta itu ialah hati yang tersembunyi di dada.” (Surah al-Haj 22: 46) Seseorang akan memiliki satu kesedaran hanya apabila mata hatinya terbuka. Dia melihat sesuatu bukan hanya dengan pandangan mata kepala malah disertai dengan pandangan mata hati. Pandangan mata hati adalah pandangan yang paling tepat dan benar kerana ia mampu melihat yang tersirat di sebalik yang tersurat, dapat menerobos yang batin daripada yang lahir dan mampu membezakan antara yang hakiki dengan yang ilusi.

Empat Pandangan Manusia

Sebenarnya, manusia memandang apa sahaja di dunia dengan empat jenis pandangan:

• Pandangan mata.

• Pandangan akal.

• Pandangan nafsu.

• Pandangan mata hati.

1. Pandangan Mata

Pandangan mata, sifatnya selalu menipu. Contohnya, menerusi pandangan mata, kita melihat rel kereta api semakin jauh semakin menirus. Tetapi itu sebenarnya salah. Realitinya, rel itu tetap sama. Mata kita yang tertipu. Begitu juga kayu lurus yang dimasukkan separuh ke dalam air – kelihatan bengkok (sebenarnya ia tetap lurus). Bulan dilihat indah dari jauh tetapi kita tahu sebenarnya permukaan bulan penuh dengan lopak-lopak, lubang-lubang dan benjolan-benjolan yang tidak rata seolah-olah muka seorang yang berjerawat. Ya, begitulah, ramai manusia yang tertipu dengan pandangan mata.

2. Pandangan Akal

Pandangan akal (fikiran) pula sifatnya boleh tersalah. Berdasarkan kajian Ciaudius Ptolemy (saintis terkemuka pada zamannya), bentuk bumi adalah mendatar. Dunia ini ada hujungnya, yang mana jika sesiapa belayar sampai ke hujung dunia, dia akan terjatuh di penjuru itu. Manusia zaman itu sangat percaya kepada “pandangan akal” Ptolemy hinggakan tidak ada siapa yang berani belayar jauh, takut-takut terjerlus ke hujung dunia. Manusia pada zaman pertengahan pula percaya bahawa bumi adalah pusat edaran jagatraya (Centre of Universe).

Tetapi kepercayaan mereka disalahkan kemudiannya oleh Galileo Galilei dan Nicholas Copernicus yang menjelaskan bumi bukanlah pusat edaran bagi jagatraya tetapi matahari. Begitulah pandangan akal manusia yang saling salah menyalah antara satu sama lain. Penemuan orang terdahulu dibatalkan oleh kajian orang sekarang. Kajian orang sekarang dibatalkan pula oleh kajian orang akan datang. Akal bersifat terbatas, maka begitulah pandangannya, juga terbatas. Justeru, pandangan akal boleh tersalah.

3. Pandangan Nafsu

Pandangan ketiga ialah pandangan nafsu. Pandangan ini sifatnya melulu. Jika pandangan akal terbatas, nafsu pula selalu terbabas. Tidak ada yang dilihat oleh nafsu melainkan peluang dan ruang untuk melampiaskan kejahatannya. Sesuatu yang sudah cantik pada pandangan orang lain dipandang sebagai buruk dan keji kerana tidak mengikut selera nafsunya.

4. Pandangan Mata Hati

Pandangan yang keempat ialah pandangan mata hati. Ini adalah pandangan yang paling tepat dan hakiki. Hati pada asalnya adalah bersih dan baik. Apa sahaja yang dilihatnya akan sentiasa memberi kebaikan dengan syarat kebersihan dan kesucian hati itu terjaga.

Metafora Kuih

Supaya mudah difahami mari kita lihat metafora ini. Katalah, melihat kuih… Kita boleh melihatnya dengan empat pandangan. Kalau kuih dipandang dengan pandangan mata, kita akan tahu apa nama kuih, warna dan bentuknya. Itu pandangan mata biasa. Bagaimana pula jika kuih dipandang dengan pandangan akal? Ini adalah pandangan pakar-pakar pembuat kuih (chef atau pakar masakan). Mereka ini memandang dengan penuh kajian dan penelitian. Dengan itu mereka mampu menganalisis. Misalnya apakah kuih itu seimbang dari segi bahan-bahannya, ketepatan mengadunnya, kemahiran menguli dan membakarnya?

Pakar-pakar masakan ini mempunyai ilmu yang cukup untuk mengkaji apakah kesilapan (jika ada) dan ketepatan pembuatan kuih tersebut. Inilah kelebihan pandangan akal berbanding pandangan mata biasa. Lain pula keadaannya dengan orang yang memandang kuih dengan pandangan nafsu. Mereka ini tidak ambil pusing langsung apakah bentuk, nama atau cara pembuatan kuih itu.

Yang penting, makan dulu. Hinggakan dengan kegelojohan itu dia tidak sempat bertanya pun siapa yang empunya. Inilah buruknya pandangan nafsu. Yang dipentingkan hanya kesedapan dan keseronokan. Bagaimana melihat kuih dengan pandangan mata hati?

Melihat dengan pandangan mata hati akan menyebabkan kita seolah-olah dapat melihat pembuat kuih tersebut. Katalah, anda sedang berada di luar negara. Bila musim Hari Raya tiba, anda mendapat kiriman bungkusan dari kampung. Bila bungkusan itu dibuka dan anda melihat kuih di dalamnya, dengan tidak semena-mena air mata anda mengalir. Bila terlihat sahaja kuih, hati anda sedih. Kenapa?

Ya, kerana anda melihat wajah ibu (pembuat kuih) di sebalik kuih itu. Anda terkenang kasih-sayang, keprihatinan, kelembutan dan segala-gala yang baik daripada ibu anda. Pandangan itu menjangkau sesuatu yang lebih bererti, bukan sekadar pada tulang, daging dan urat ibu kita tetapi kepada yang lebih maknawi, yakni budi, kasih dan sayangnya. Tanyakan hati kita, manakah pandangan yang lebih tepat dan murni? Pastinya hati kita akan menjawabnya, itulah pandangan mata hati! 87141960

Diri pada Pandangan Mata Hati

Sebenarnya diri kita juga boleh dilihat dengan empat pandangan. Cuba bayangkan, kita di hadapan cermin. Bila kita memandang dengan pandangan biasa (hari-hari kita memandangnya begitu), kita akui itulah diri kita. Kemaskan rambut, betulkan tudung atau rapikan baju, lalu kita berlalu. Itulah pandangan mata biasa. Tetapi ada orang yang melihat dirinya dengan pandangan akal.

Bagaimana? Dengan akal fikiran, berlakulah analisa diri sendiri terhadap wajah yang dipantulkan oleh cermin. Ah, semakin tembam aku ini. Semakin putih wajahku. Oh, sudah ada garis-garis kedut di pelipis mata. Begitulah hasil analisa akal menerusi pandangannya. Hasil pandangan itu, kita pun bertindak mengurangkan berat badan, membetulkan kedudukan pakaian, menggunakan bahan kosmetik untuk merawat wajah dan berazam untuk memulakan diet atau senaman. Diri kita juga boleh dilihat dengan pandangan nafsu.

Katalah, kita masih pada usia muda (remaja). Muda hanya sekali, begitu bisik pandangan nafsu. Jangan disia-siakan peluang yang datang hanya sekali ini. Maka nafsu yang sentiasa merangsang kepada kejahatan ini akan memberi “nasihat” jahatnya. Mana lagi disko, dangdut dan tempat-tempat pelesiran yang belum didatangi. Tunggu apa lagi, ayuh pergi!

Begitulah pandangan nafsu oleh orang muda. Bagi orang yang telah tua pula, pandangan nafsu ada helahnya tersendiri. Eh, engkau belum tua lagi. Apakah kau lupa, ‘Life begin at forty. Man is like wine… Akibatnya, orang tua tidak merasa tua lagi – miang-miang keladi, makin tua makin jadi. Maksiat terus diratah sebanyak-banyak dan secepat-cepatnya, seolah-olah pasukan bola yang memburu gol pada waktu kecederaan.

Bila diingatkan, datuk dah senja ni… Dia tidak akan menerimanya bahkan istilah orang tua kerap ditukar menjadi “orang lama”. Ya, mungkin si tua yang didominasi pandangan nafsunya ini, sudah pencen dalam kerjayanya tetapi belum pencen dalam melakukan dosa. Bagaimana pula orang yang melihat dirinya dengan pandangan mata hati? Orang muda akan menghargai umurnya dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Muda bukan sekali, tetapi dua kali. Begitu bisik hatinya.

Kali pertama ialah umur muda di dunia yang bersifat sementara. Manakala muda kali kedua ialah muda di dalam syurga yang abadi selamanya (menurut sesetengah ulama umur ahli syurga sekitar 30-an). Orang muda yang dipengaruhi oleh pandangan mata hati ini insaf bawa muda adalah saat terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka ini sedar bahawa antara soalan yang akan ditanyakan di padang Mahsyar nanti ialah, ke mana umur mudamu sudah kamu habiskan?

Allah tidak bertanyakan umur tua, ini kerana umur muda adalah ‘prime time’ (masa yang sangat berharga) untuk seseorang manusia, dan alangkah baiknya jika ‘aset’ yang sangat berharga ini diserahkan kepada Allah? Bukankah itu petanda kita benar-benar mencintai-Nya?

Lalu hati orang muda itu pun berazam, jika demikian aku akan gunakan umur muda yang sementara ini untuk mendapat umur muda yang kekal abadi di syurga. Demikianlah azam orang muda yang memandang dengan pandangan mata hati. Lalu dia akan menyegerakkan amalan kebaikan, tidak bertangguh-tangguh taubat dan segera meninggalkan kejahatan. Usia muda dianggap sebagai satu kesempatan bukan satu penangguhan. Rasulullah s.a.w bersabda: “Allah suka orang yang bertaubat, tetapi Allah lebih suka orang muda yang bertaubat.” 88462094

Pandangan Mata Hati Imam Syafii

Orang tua yang melihat dengan pandangan mata hati akan bertambah serius dalam melaksanakan kebaikan dan ‘berpatah arang’ dengan kejahatan. Masa telah begitu suntuk. Entah sempat, entahkan tidak. Itulah rasa hati mereka.

Mereka tidak sudi lagi berpaling kepada yang mengganggu dan menggugat. Tumpuan utama hanyalah mengejar masa. Imam Syafii misalnya, pada usia empat puluh tahun sudah pun berjalan dengan memakai tongkat. Orang keliling kehairanan, justeru Imam Syafii masih tegap dan sihat. Bukankah beliau seorang pemanah yang tepat dan penunggang kuda yang cekap?

Ketika menjawab soalan orang tentang mengapa dia bertongkat, Imam Syafii berkata, “Tongkat ini untuk mengingatkan bahawa aku telah tua. Cukuplah semua hadiah dan sanjungan yang telah ku terima selama ini. Aku tidak perlukan lagi. Tumpuan sepenuh hati ku sekarang ialah menuju Allah!” Demikian “orang tua” yang memandang dirinya dengan pandangan mata hati. Sayangnya, kebanyakan kita yang mendakwa pengikut setia Imam Syafii tidak pula bersikap begitu. Kita tidak mencari tongkat “pengingat” seperti beliau, sebaliknya mencari tongkat “penggiat” – tongkat Ali!

Kesimpulan:

Sekarang bagaimana? Setiap kali kita memandang wajah di cermin, kita melihat dengan pandangan yang mana? Pandangan mata, akal, nafsu atau hati? Sebagai seorang Islam, kita diajar supaya setiap kali bercermin muka kita disunatkan membaca doa berikut: “Ya Allah, sepertimana Kau telah sempurnakan ciptaan wajahku, maka Kau sempurnakanlah pekertiku.” Ini menunjukkan bahawa menerusi doa ini Islam mengajar kita, jangan sekali-kali hanya melihat wajah lahir (muka) tetapi perlu melihat wajah batin kita (pekerti). Pekerti kita itulah hakikat diri kita yang sebenar.

Jasad yang tercipta dari tanah, bukanlah hakikat diri kita. Ia akan kedut, reput bahkan hancur akan dimamah ulat, cacing dan tanah. Tetapi diri kita yang hakiki ialah budi pekerti kita, yang tidak akan hancur selama-lamanya. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Apa yang dilihat dengan pandangan mata hati inilah yang dikenang oleh manusia dan diberi ganjaran oleh Allah s.w.t. Rasulullah s.a.w bersabda: “Allah tidak menilai rupa lahir kamu tetapi Allah menilai amalan dan hati kamu.”

Demikianlah apa yang dikatakan celik mata hati atau kesedaran. Tegasnya, mata hati akan celik hanya apabila kita melihat kehidupan ini sejajar dengan kehendak atau ketetapan Pencipta hidup – Allah. Inilah pandangan hidup (worldview) yang paling jelas tepat. Bermula dengan pandangan yang tepat inilah kita boleh menjalani hidup dengan sebaik-baiknya.

Jika tidak, terjadilah apa yang ditegaskan oleh Allah menerusi firman-Nya yang bermaksud: “Dan sesungguhnya Kami sediakan bagi neraka jahanam itu golongan jin dan manusia yang mereka itu mempunyai hati (tetapi) tidak mahu memahami dengannya, dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mahu melihat dengannya dan yang mempunyai telinga (tetapi) tidak mahu mendengar dengannya; mereka itu ibarat binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Surah al-A’raaf 7:179).


By Pahrol Mohammad Juoi~